Selasa, 09 November 2010

Ramainya Masjid Raya Bandung


Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat dibangun pada tahun 1812. Didirikan dengan bentuk sederhana, bertiang kayu dan berdinding anyaman bambu, dan sebuah kolam untuk mengambil wudhu.

Tahun 1850, bangunan ibadah itu mengalami perombakan. Kayu diganti dengan batu. Atapnya menggunakan genting. Memasuki tahun 1900, keberadaan Masjid Agung  menjadi lengkap dengan ciri khusus seperti masjid tradisional, antara lain beratap tumpang susun tiga, kolam, bangunan menghadap Timur, makam, dan tidak bermenara.













Tahun 1930, terjadi penambahan pada bangunan masjid. Yaitu sepasang menara pendek di kanan-kiri bangunan. Sejak tahun itu pula, bangunan sekeliling Alun-alun didirikan semacam benteng atau tembok berlubang dengan ornamen khas gaya Priangan. Motif pada tembok itu adalah sisik ikan hasil rancangan Maclaine Pont, arsitek yang merancang Aula Barat ITB.

Tahun 1955, sehubungan dengan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung, Masjid Agung lagi-lagi mengalami perombakan besar. Tampilan Masjid bagian depan dirubah. Kedua menara dibongkar dan serambi diperluas. Sebuah menara tunggal didirikan di halaman depan Masjid sebelah selatan. Perubahan drastis terjadi pada bentuk atap bangunan utama. Masjid yang sejak pertama berdiri terkenal dengan julukan "Bale Nyuncung" karena bentuk atapnya, kini berganti beratapkan kubah model "bawang' dengan gaya timur tengah rancangan Soekarno. Kubah yang menyerupai bawang ini bertahan selama 15 tahun. Tahun 1970, perombakan kembali terjadi.

Memasuki tahun 2000-an, akhirnya bangunan Masjid Agung secara resmi berubah nama menjadi Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat. Penduduk masih menyebutnya sebagai Masjid Agung. Tahun 2003, perombakan yang menelan biaya sebesar 36 miliar rampung dilakukan. Sementara itu halaman depan masjid yang dirombak. Parkir kendaraan ditempatkan di basement sementara bagian atasnya adalah taman, sebuah area publik tempat masyarakat berkumpul. Ini adalah salah satu upaya pemkot mengembalikan nilai Alun-alun seperti dahulu kala. Ruang bawah tanah untuk tempat parkir itu juga semula direncanakan untuk menampung para pedagang jalanan (PKL) meski hingga hari ini belum terealisasikan.

Setiap hari, Masjid Raya Bandung, selalu didatangi banyak wisatawan lokal, nasional bahkan mancanegara. Sasarannya yaitu menara kembar mirip di Masjid Nabawi yang menjadi incaran pengunjung.

Tak bisa dipungkiri, keindahan, kemegahan dan ketegaran Masjid Raya Bandung, sudah terlihat dari jauh. Begitu menginjakkan kaki di halaman masjid, wisatawan dapat melihat keindahan menara kembar masjid. Menara tersebut masing-masing memiliki ketinggian 81 meter dari permukaan tanah. Awalnya, menara dirancang mencapai ketinggian 99 meter dari permukaan tanah untuk melambangkan Asmaul Husna.

Ternyata, Departemen Perhubungan tidak mengizinkan karena dapat mengganggu lalu lintas udara ke Bandara Husein Sastranegara. Meskipun ketinggiannya sekarang 81 meter, jika ditambah fondasinya yang 18 meter ke bawah tanah, jumlahnya menjadi 99 meter.

Dengan ketinggian tersebut, Menara Kembar Masjid Raya menjadi bangunan tertinggi di Bandung yang setara dengan bangunan 21 lantai. Dan untuk bisa mencapai puncak menara kembar, wisatawan tak perlu susah payah naik tangga karena ada lift yang dapat membantu menuju puncak menara. Untuk masuk lift dikenakan infaq Rp. 2.000 bagi orang dewasa dan Rp. 1.000 untuk anak-anak. Infaq ini bukan masuk kantong pribadi penjaga lift, namun untuk pemeliharaan dan perawatan lift agar tetap lancar beroperasi. Untuk membayar listrik dan untuk kas masjid.

Di puncak menara para pengunjung bisa menikmati pemandangan kota Bandung, yang kini dipadati bangunan perkantoran, perumahan, hotel dan hijau kota Bandung agaknya sudah berkurang akibat pembangunan yang terus menerus.

Bahkan di puncak menara bisa melihat kepadatan arus lalu lintas yang kini menjadi problem bagi jalan-jalan di Bandung, akibat banyaknya kendaraan dari Jakarta dan daerah kota lain yang ingin berwisata dan berlibur.

Yang lebih menarik lagi, wisatawan bisa menyaksikan pemandangan dua kubah berukuran kecil yang di atasnya terdapat lambang tusuk satai. Di belakang kedua kubah itu, menjulang kubah induk yang berukuran lima kali kubah yang kecil atau setara dengan kubah Masjid Istiqlal dipasang tulisan Allah setinggi 7 meter.

Saat ini Masjid Raya Bandung tidak hanya dijadikan tempat beribadah tetapi juga dijadikan tempat orang-orang beristirahat dan para pedagang kaki lima. Tidak jarang juga banyak pengemis dan pengamen tidur di teras Masjid Raya ini. Dengan keadaan seperti ini Masjid Raya Bandung terlihat kumuh karena orang-orang yang mengunjungi tempat ini kurang memperhatikan kebersihan di lingkungan Masjid.













Untuk menjaga kebersihan dan keindahan Masjid ini, kita sebagai generasi muda harus lebih memperhatikan lingkungan sekitar Masjid, agar suasana Masjid dapat terjaga dan wisatawan pun akan semakin bertambah guna menambah pemasukan untuk Kota kita yang tercinta ini dan untuk pemeliharaan Masjid Raya ini.

(T-2/Gilang Kancana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar