Rabu, 10 November 2010

Etika Pemimpin Di Tengah Bencana Alam Di Indonesia.


Seluruh elemen masyarakat Indonesia berkabung tak perduli dari ras mana, agama apa, suku apa. Seluruhnya, dari atas hingga bawah, dari rakyat jelata hingga pucuk pimpinan. Bahkan mata dunia pun tertuju pada Indonesia Pray For Indonesia


Bagaimana tidak, bencana alam di Indonesia yang datang hampir bersamaan dalam dua pekan ini memenuhi ruang Berita dan Informasi. berbagai media cetak dan elektronik. Banjir bandang di Wasior memakan korban puluhan orang disusul kemudian tsunami Mentawai menyapu  lebih dari seratus orang dan yang terakhir kemudian letusan Gunung Merapi awan panasnya melahap puluhan korban jiwa. Puluhan ribu penduduk di sekitar perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta terpaksa harus mengungsi. Sementara warga ibu kota republik ini mesti rela menghadapi banjir yang tak pernah bisa diatasi.

Untuk kesekian kali alam menunjukkan kehebatannya di tengah ketakberdayaan manusia. Sekalipun manusia sudah mengembangkan kepintarannya berpuluh tahun lamanya, menciptakan teknologi paling canggih untuk mengatasi gejala alam, namun hingga kini belum ada satupun hasil rekayasa teknologi yang mampu secara akurat memastikan kapan gempa akan mengguncang dan kapan gunung akan meletus.

Kecuali dua fenomena alam tadi -banjir- adalah sebuah fenomena alam yang bisa diprediksi karena sebagian banjir merupakan serangan balik alam terhadap ulah manusia. Sebagai akibat atas kesewenang wenangan manusia yang tidak mempunyai kearifan berinteraksi dengan alam hingga menyebabkan kerusakan serta hilangnya keseimbangan. Lihat saja pada satu titik alam sendiri yang akan berproses menemukan kembali keseimbangan. Inilah antara lain yang nampak pada bencana Wasior dan banjir di Jakarta yang tak bisa juga diatasi.

Kita sudah belajar menangani dampak dahsyat tsunami di Aceh, puluhan gunung api aktif juga sudah memberikan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya kita mengelola lingkungan dan permukiman di sekitarnya. Pun semestinya kita juga sudah bisa belajar menghadapi masalah banjir di Jakarta dan beberapa tempat lainnya. Karena tanda-tanda bahaya sudah dikirimkan oleh gunung yang akan meletus, dan hutan yang kian gundul. Gempa sudah bisa diraba, setidaknya dari siklus dan paramater yang sudah berpuluh tahun dipelajari, karena negara kita berada di jalur tektonik yang sangat aktif. Ya, pengalaman memiliki tanah air Indonesia, semestinya mengenal baik juga penanganan terhadap berbagai kemungkinan.

Di tengah bencana yang bertubi tubi, presiden Republik beserta rombongan  malah meneruskan perjalanannya ke China menghadiri pameran bisnis serta melounching bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin. Walaupun kemudian beliau tidak sampai akhir berada di sana dan lalu tergopoh gopoh menyinggahi Padang dan Yogya. Namun publik terlanjur memandang itu sebagai dramatisasi keperdulian saja. Sangat berbeda dengan Presiden Chili yang membatalkan kunjungan ke Eropa demi menyelamatkan 33 orang warganya yang terjebak di tambang.

Yang lebih keren dan spektakuler adalah tidak tergeraknya sama sekali *saya tekankan SAMA SEKALI* wakil rakyat yang malah melenggang kangkung jalan jalan berkedok studi banding ke Yunani meski harus menerima kritik tajam, cacian makian dari berbagai pihak. Mereka para wakil rakyat itu sudah dibutakan mata dan hatinya. Tak perduli lagi dengan jeritan tangis rakyat yang dahulu pernah memilih mereka sebagai wakil. Dengarkan saja ucapan sang Ketua DPR Marzuki Alie yang sangat tidak empati : ” Jika tak ingin disapu tsunami, ya jangan tinggal di tepi pantai !!!!”

Di tengah situasi yang seperti itu, sejenak mari menengok tokoh kita minggu ini, almarhum Mbah Marijan. Banyak yang menganggap apa yang dilakukan oleh Mbah Marijan adalah tidak masuk akal. Namun tahukah bahwa di situ ada aplikasi kesetiaan seorang abdi terhadap kosmologi yang diyakini olehnya. Mbah Marijan telah memberikan banyak pelajaran tentang etika yakni kesetiaan pada keyakinan dan profesi yang diemban, bahkan hingga ia akhirnya menemui sang Khalik. Dan si Mbah tak pernah jalan jalan ke Yunani untuk memperoleh pemahaman etika seperti itu, ia cukup menjaga pusakanya, setia pada Mangkubumi Jawa, gunung Merapi. (T-3/Yaen Renaldi H)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar